BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 31 Juli 2009

Sejarah Pacu Jalur



Sejarah Pacu Jalur

Di awal abad ke-17, jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40 orang.

Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.

Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antarjalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama pacu jalur. Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung- kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam.

Saat itu, karena berangkat dari kemeriahan antarkampung yang sangat sederhana, maka untuk para juara lomba tidak ada hadiah yang diperebutkan, yang ada adalah acara makan bersama warga sekampung dengan menu makanan tradisional setempat, seperti konji, godok, lopek, paniaran, lida kambiang, dan buah golek. Tetapi, di beberapa kampung ada juga yang menyediakan hadiah berupa marewa (bendera kain berwarna-warni berbentuk segi tiga dengan renda di bagian tepinya), yang diberikan untuk juara satu hingga empat dengan perbedaan pada ukuran kainnya.


Pacu Jalur adalah sejenis lomba dayung tradisional khas daerah Kuantan Singingi Kuansing) yang hingga sekarang masih ada dan berkembang di Propinsi Riau. Lomba dayung ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan yang oleh masyarakat sekitar juga sering disebut jalur. Upacara adat khas daerah Kuansing ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 23—26 Agustus. Panjang perahu/jalur yang digunakan dalam lomba ini berkisar antara 25—40 meter dengan jumlah atlet 40—60 orang tiap perahu. Biasanya, festival ini diikuti oleh ratusan perahu dan melibatkan beribu-ribu atlet dayung, serta dikunjungi oleh ratusan ribu penonton baik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Konon, kegiatan lomba dayung ini merupakan warisan budaya masyarakat Kuantan Singingi yang telah berlangsung sejak tahun 1900-an. Perahu atau jalur, dahulu, sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil bumi atau pun hasil hutan. Kebiasaan menggunakan perahu inilah yang mungkin merupakan cikal bakal kegiatan Pacu Jalur. Pada zaman penjajahan Belanda, Pacu Jalur juga dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk memeringati serta memeriahkan hari ulang tahun ratu mereka yang bernama Ratu Wilhelmina. Namun, semenjak Indonesia merdeka, Pacu Jalur berangsur-angsur dijadikan upacara khas untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awalnya, kegiatan Pacu Jalur hanya diikuti oleh segelintir masyarakat di sekitar daerah Kuantan Singingi. Namun, dalam perkembangannya, kegiatan ini banyak mendapat perhatian dan simpati dari berbagai kawasan, terutama daerah-daerah kawasan Riau dan sekitarnya serta mancanegara. Oleh karena itu, saat ini festival Pacu Jalur tidak hanya milik masyarakat Kuantan Singingi saja, melainkan telah menjadi pesta rakyat milik masyarakat Riau dan kawasan sekitarnya. Festival yang bernuasa tradisional ini telah ditetapkan masuk ke dalam Kalender Pariwisata Nasional (Major Event).

Pneumatic Transmitter






Pneumatic Transmitter

¢ Transmitter berfungsi

mengubah sinyal mekanik atau elektrik yang dihasilkan elemen primer menjadi sinyal mekanik atau elektrik dengan harga tertentu untuk disalurkan melalui jarak yang cukup jauh.

¢ Sinyal yang dihasilkan oleh transmitter harus terkondisi pada harga terbatas menurut standar.

¢ Untuk sinyal mekanik, yang umumnya berupa sinyal pneumatik ( tekanan udara ) :

3 – 15 psi atau 0,2 – 1 atm

( 1 psi = 0.068046 atm )

[ variabel proses di industri pulp & kertas ]

¢ Tekanan

Perbedaan tekanan di pelat orifice→ lubang “high & low pressure” → baffle bergerak → nozzle membuka / menutup → suplai udara masuk → output signal.

Diafragma sebagai detektor untuk mendeteksi tekanan.

¢ Aliran

Beda tekanan di tempat sebelum dan sesudah pelat orifice menyatakan besarnya aliran.

Aliran ini memenuhi rumus V = √2. g. h

Aliran dapat berupa uap, air, bahan kimia, liquor, pulp dsb.

¢ Tinggi permukaan ( level )

Air, pulp dalam digester, bleach, tower, headbox, dsb.

¢ Temperatur

Air, uap, pulp dalam tangki, storage dll.

¢ pH

¢ Konsistensi

¢ Berat Jenis

¢ Kelembaban

¢ Kadar air


[ Cara Kerja Instrumen ]

¢ Beda tekanan antara pelat oriface akan masuk melalui “high pressure” dan “low pressure”, sehingga terjadi gerakan Baffle.

¢ Gerakan ini bisa mengakibatkan membuka atau menutupnya lubang Nozzle.

¢ Akibatnya transmitter mendapat suplai udara tekan sebesar 20 psi dan menghasilkan Sinyal Pneumatik yang keluar besarnya sebanding dengan selisih tekanan yang terukur.

¢ Sinyal keluaran akan diteruskan ke elemen sekunder sehingga menggerakkan jarum penunjuk skala aliran.

¢ Nilai yang terbaca setara dengan nilai aliran pada orifice.

Kamis, 30 Juli 2009

Sistim Kogenerasi Turbin Uap

Turbin uap merupakan salah satu teknologi mesin penggerak yang multi guna dan tertua yang masih diproduksi secara umum. Pembangkitan energi dengan menggunakan turbin uap telah berlangsung sekitar 100 tahun, ketika alat tersebut menggantikan mesin steam reciprocating karena efisiensinya yang tinggi dan biayanya yang murah. Kapasitas turbin uap dapat berkisar dari 50 kW hingga ratusan MWs untuk plant utilitas energi yang besar. Turbin uap digunakan secara luas untuk penerapan gabunag panas dan daya (CHP). Siklus termodinamika untuk turbin uap merupakan siklus Rankine. Siklus merupakan dasar bagi stasiun pembangkitan daya konvensional dan terdiri dari sumber panas (boiler) yang mengubah air menjadi steam tekanan tinggi. Dalam siklus steam, air pertama-tama dipompa ke tekanan sedang hingga tinggi, kemudian dipanaskan hingga suhu didih yang sesuai dengan tekanannya, dididihkan (dipanaskan dari cair hingga uap), dan kemudian biasanya diberikanpanas berlebih/superheated (dipanaskan hingga suhu diatas titik didih). Turbin multi tahap mengekspansi steam bertekanan sampai ke tekanan rendah dan steam kemudian dikeluarkan ke kondensor pengembun pada kondisi vakum atau menuju sistim distribusi suhu menengah yang mengirimkan steam ke penggunaan industri atau komersial. Kondensat dari kondensor atau dari sistim penggunaan steam dikembalikan ke pompa air umpan untuk keberlanjutan siklus.

Dua jenis turbin uap yang banyak digunakan adalah jenis tekanan balik dan ekstraksikondensasi. Pemilihan diantara keduanya sangat tergantung pada besarnya panas dan daya, kualitas panas dan faktor ekonomi. Titik ekstraksi steam dari turbin dapat lebih dari satu, tergantung pada tingkat suhu dari panas yang diperlukan oleh proses.

Turbin Steam Tekanan Balik

Turbin steam tekanan balik merupakan rancangan yang paling sederhana. Steam keluar turbin pada tekanan yang lebih tinggi atau paling tidak sama dengan tekanan atmosfir, yang tergantung pada kebutuhan beban panas. Hal ini yang menyebabkan digunakannya istilah tekanan balik. Dengan cara ini juga memungkinkan mengekstraksi steam dari tahap intermediate turbin uap, pada suhu dan tekanan yang sesuai dengan beban panas. Setelah keluar dari turbin, steam diumpankan ke beban, dimana steam ini akan melepaskan panas dan kemudian diembunkan. Embun kondensat kembali ke sistim dengan laju alir yang dapat lebih rendah dari laju alir steam, jika steam digunakan dalam proses atau jika terdapat kehilangankehilangan sepanjang jalur pipa. Air make-up digunakan untuk menjaga neraca bahan.

Cogeneration

Apakah Kogenerasi?

Sistim kogenerasi adalah serangkaian atau pembangkitan secara bersamaan beberapa bentuk energi yang berguna (biasanya mekanikan dan termal) dalam satu sis tim yang terintegrasi. Sistim CHP terdiri dari sejumlah komponen individu – mesin penggerak (mesin panas), generator, pemanfaatan kembali panas, dan sambungan listrik – tergabung menjadi suatu integrasi. Jenis peralatan yang menggerakkan seluruh sistim (mesin penggerak) mengidentifikasi secara khusus sistim CHPnya. Mesin penggerak untuk sistim CHP terdiri dari mesin reciprocating, pembakaran atau turbin gas, turbin uap, turbin mikro dan sel bahan bakar. Mesin penggerak ini dapat membakar berbagai bahan bakar, yaitu gas alam, batubara, minyak bakar, dan bahan bakar alternatif untuk memproduksi daya poros atau energi mekanis. Meskipun umumnya energi mekanis dari mesin penggerak digunakan untuk menggerakkan generator untuk membangkitkan listrik, tetapi dapat juga digunakan untuk menggerakkan peralatan yang bergerak seperti kompresor, pompa, dan fan. Energi termal dari sistim dapat digunakan untuk penerapan langsung dalam proses atau tidak langsung untuk memproduksi steam, air panas, udara panas untuk pengeringan, atau air dingin/ chilled water untuk proses pendinginanan.

Keuntungan Kogenerasi

Seperti sudah digambarkan diatas, keuntungan penggunaan sistim kogenerasi adalah sebagai
berikut:
§ Meningkatkan efisiensi konversi energi dan penggunaannya.
§ Emisi lebih rendah terhadap lingkungan, khususnya CO2, gas rumah kaca utama.
§ Dalam beberapa kasus, digunakan bahan bakar biomas dan beberapa limbah seperti
limbah pengolahan minyak bumi, limbah proses dan limbah pertanian (dengan digester
anaerobik atau gasifikasi). Bahan ini akan menjadi bahan bakar pada sistim kogenerasi,
meningkatkan efektivitas biaya dan mengurangi tempat pembuangan limbah.
§ Penghematan biaya yang besar menjadikan industri atau sektor komersial lebih kompetitif
dan juga dapat memberikan tambahan panas untuk pengguna domestik.
§ Memberikan kesempatan lebih lanjut untuk membangkitkan listrik lokal yang didesain
sesuai kebutuhan konsumen local dengan efisiensi tinggi, menghindari kehilangan
transmisi dan meningkatkan fleksibilitas pada sistim penggunaan. Hal ini khususnya
untuk penggunaan baha n bakar gas alam.
§ Suatu kesempatan untuk meningkatkan diversifikasi plant pembangkit, dan menjadikan
persaingan pembangkitan. Kogenerasi menyediakan sesuatu kendaraan terpenting untuk
promosi pasar energi yang liberal.

Minggu, 19 Juli 2009

PT. Riau Andalan Pulp & Paper




PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), perusahaan milik Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) ini didirikan tahun 1992 di bawah konglomerasi Raja Garuda Mas (RGM). Selain bergerak dalam industri pulp dan kertas, RAPP juga mempunyai konsesi hutan tanaman industri, sebagai sumber pasokan bahan baku industrinya. Pada awal berdirinya, RAPP memiliki kapasitas terpasang industri sebesar 1,3 juta ton per tahun, dan sejak tahun 2002 hingga sekarang meningkat menjadi 2 juta ton, setara dengan kebutuhan bahan baku kayu 9,5 juta m3 setiap tahunnya. Perusahaan pulp dan kertas RAPP memiliki konsesi HTI seluas 160 ribu hektar di Propinsi Riau dan bulan Oktober 2004 mendapat ijin prinsip untuk penambahan 75 ribu hektar, sehingga saat ini area konsesi hutan tanaman RAPP mencapai 235 ribu hektar.
Menurut Munoz, Manajer Lingkungan APRIL, bahan baku RAPP bersumber dari penanaman akasia di areal HTI RAPP sendiri seluas netto 192.000 hektar. Areal HTI kemitraan dengan perusahaan lain seluas 150.000 hektar serta lokasi HTR seluas 39.000 hektar. Dengan demikian RAPP telah memiliki kesatuan lahan seluas 381.000 hektar. Padahal untuk pemenuhan kapasitas 2 juta ton pulp per tahun hanya dibutuhkan 300.000 hektar. Realisasi penanaman akasia hingga September 2003 mencapai 187.000 hektar (62%) dari keseluruhan areal yang direncanakan. Diperkirakan pada tahun 2008 RAPP tidak lagi memanfaatkan Bahan Baku Serpih (BBS) dari IPK atau land Clearing hutan alam, jelasnya. (Riau Mandiri, 3 November 2003, Hal.15)

Kutipan di atas bisa diartikan bahwa ada rentang waktu 4 tahun dimana RAPP masih akan mengambil sebagian bahan bakunya dari hutan alam. Dalam waktu yang hampir bersamaan, RAPP juga mengajukan permohonan sertifikasi produksi hutan tanaman lestari (Sertifikasi PHTL). Sepertinya RAPP ingin mengatakan bahwa tidak akan ada lagi sumber bahan baku pabrik kertas yang berasal dari hutan alam. Selain itu, terkesan juga kepercayaan diri dalam mendapatkan sertifikat lestari, untuk menjawab tuntutan konsumen dunia terhadap produk-produk industri kayu dari hutan tropis.
Menjadi menarik ketika menyaksikan optimisme RAPP tersebut berlawanan dengan apa yang terjadi saat ini. Meskipun telah memenuhi ketentuanpemerintah, bahwa realisasi penanaman sekurang-kurangnya 60 % dari total areal hutan tanaman miliknya, tetapi pemenuhan bahan baku hanya mendekati 5,5 juta m3. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, bagaimana RAPP memperoleh tambahan bahan baku sebesar 4 juta m3 untuk menghasilkan 2 juta ton pulp per tahunnya? Dari mana RAPP memiliki keberanian menaikkan kapasitas produksinya, sementara pembangunan hutan tanaman miliknya berjalan terlalu lambat (atau malah diam)? Tetapi, sertifikasi bukan hanya melulu faktor produksi. Sertifikat PHTL mensyaratkan juga faktor ekologi dan faktor sosial. Ketiga faktor ini harus terpenuhi sekaligus untuk memperoleh sebutan
Monitoring Sertifikasi pengelolaan hutan tanaman yang lestari dan bebas konflik.

Konsesi hutan tanaman RAPP tersebar di empat kabupaten, sebagian besar berada di atas rawa
gambut dan beberapa sektor berdekatan dengan kawasan konservasi penting di Riau, diantaranya adalah Suaka Margasatwa Kerumutan, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Taman Nasional Tesso-Nillo (FWI, 2004. Diolah dari Peta HTI & Kawasan Konservasi, Dishut Provinsi Riau, 2003). Suaka margasatwa tersebut menjadi penting bagi pertimbangan aspek ekologis sertifikasi karena persebaran satwa hutan rawa gambut sangat terbatas dan jelas tidak bisa diabaikan begitu saja.

Awal April 2003, Sungai Kampar meluap dan menenggelamkan 1.362 bangunan yang tersebar di
39 desa di Kabupaten Kampar dan Pelalawan (Media Indonesia, 4 April 2003). Sungai Kampar merupakan muara beberapa anak sungai yang berhulu di Cagar Alam Bukit Bungkuk dan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling. Tidak bisa dibantah bahwa perilaku hidrologi berkaitan sangat erat dengan perilaku pengelolaan daerah tangkapan air terutama di kawasan hulunya, misalnya penggunaan lahan dan tutupan vegetasinya. Di sini, mungkin baru beberapa saja pertimbangan ekologis yang muncul, tetapi melihat tingkat pengaruhnya, maka mau tak mau harus menjadi bagian dari landasan pemberian sertifikat PHTL.

Beberapa catatan FWI tentang interaksi perusahaan hutan tanaman ini dengan masyarakat lokal, sepertinya bisa menjadi bahan pertimbangan aspek sosial sertifikasi di kemudian hari. Desa Kuntu, yang terletak di sebelah utara Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, ternyata masih menyimpan persoalan. Tanah ulayat masyarakat adat Kuntu yang digunakan PT. RAPP dikatakan seluas sekitar 1.500 hektar, masih berbeda dengan hasil pemetaan yang dilakukan masyarakat, yaitu sekitar 1.800 hektar. Perbedaan yang cukup besar untuk sebuah komunitas lokal. Persoalan lain adalah ketika masyarakat menuntut adanya biaya
pancung alas sebesar sepuluh ribu rupiah untuk setiapton kayu akasia yang ditebang dari atas tanah ulayat Kuntu, yang hingga saat ini belum ditanggapi oleh pihak perusahaan. Pancung alas merupakan suatu bentuk penggantian biaya atas hasil bumi yang diambil dari suatu wilayah adat untuk tujuan komersial, dan akan dikembalikan ke alam dalam bentuk pengelolaan (Buletin Alam Sumatera, Vol I No. 4, hal. 10). Di sekitar kawasan TN. Tesso-Nilo, pada tahun 2002 terjadi konflik lahan antara masyarakat Desa Situgal dengan PT. RAPP, tetapi bisa diselesaikan oleh BPN Kabupaten Kuantan Singingi. Kemudian perusahaan memberikan ganti kerugian berupa pembangunan balai desa dan jalan, meskipun tuntutan masyarakat atas biaya pancung alas, pembangunan rumah adat dan bantuan sapi belum terpenuhi hingga saat ini. Ada juga persoalan kecemburuan suatu desa kepada desa lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya RAPP. Sebagai contoh masyarakat Desa Petai, mereka memperoleh fee sebesar 1.000 rupiah untuk setiap ton kayu akasia yang lewat.

Awal November 2004, di sela proses penilaian sertifikasi PHTL, ratusan karyawan PT. RAPP melakukan penyerangan terhadap masyarakat Desa Koto Baru. Mereka melakukan perusakan rumah masyarakat. Peristiwa ini menggambarkan bahwa masih ada persoalan antara perusahaan dan masyarakat lokal yang harus segera diselesaikan sebelum melanjutkan proses sertifikasi. Penilaian ketiga aspek sertifikasi di atas sebenarnya tidak lepas dari prinsip-prinsip penyelenggaraan kehutanan yang termuat dalam Pasal 2 UU No. 41 Tahun 1999. Kelima prinsip itu adalah: asas manfaat dan lestari, asas kerakyatan dan keadilan, asas kebersamaan, asas keterbukaan, dan asas keterpaduan. Dengan begitu sebenarnya tidak ada lagi hal baru yang harus disiapkan dalam proses Sertifikasi PHTL. Tentunya jika dan hanya jika kelima prinsip tersebut sudah diterapkan dengan benar dalam setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan di Indonesia.
Source : (google.com/search)